tirto.id - Perkembangan teknologi digital termasuk salah satu penemuan yang banyak mengubah perilaku baik konsumen maupun produsen. Perkembangan digital termasuk dalam distruptive innovation, yang didefinisikan oleh dosen Harvard Bussiness School Amerika Serikat Clayton Christensen sebagai proses produk atau jasa yang sebenarnya berakar di sebuah pasar lalu kemudian muncul di pasar, sehingga mengganggu pesaing yang sudah ada. Distrupsi terjadi karena ada persaingan baru dalam sebuah pasar melalui perusahaan baru yang memasuki pasar yang sudah mapan. Christensen juga mencermati, pada awal 2000-an, ada dampak sosial yang signifikan akibat perubahan ini.
Banyak industri yang terpapar oleh perkembangan teknologi digital ini. Misalnya saja industri transportasi. Penyedia transportasi seperti perusahaan taksi tidak luput dari gangguan itu. Kehadiran perusahaan taksi online di Indonesia dalam dua tahun belakangan ini memberikan layanan gaya baru untuk para konsumen taksi.
Konsumen tinggal memesan taksi melalui aplikasi, lalu dijemput dan diantar ke tempat tujuan. Taksi online pun lebih nyaman dibandingkan dengan taksi konvensional. Konsumen seperti memiliki banyak mobil pribadi, berganti-ganti mobil.
Kualitas layanan terjaga karena ada “tuhan” yang bernama peringkat. Jika layanan yang diberikan pengemudi taksi online buruk, konsumen tidak segan memberikan peringkat rendah. Dampaknya, kemungkinan perhitungan bonus pengemudi dapat dipangkas, gara-gara peringkat rendah dari pelanggan. Paling parah, pengemudi dapat diputus hubungan kerja samanya dengan perusahaan penyedia jasa taksi online. Sebaliknya, jika konsumen mengeluhkan layanan dari taksi konvensional kepada service center, belum tentu aduan tersebut ditindaklanjuti.
Selain layanan, biaya yang dibebankan oleh taksi online lebih murah dibandingkan dengan taksi konvensional. Skema kemitraan di antara perusahaan penyedia jasa taksi online dan pengemudinya memangkas banyak sekali biaya operasional yang harus dibayar oleh perusahaan taksi konvensional.
Secara alami, sebagian pelanggan taksi konvensional beralih ke taksi online. Konsumen memilih layanan yang dianggap lebih memberikan nilai tambah ketimbang taksi konvensional. Apalagi, pemerintah terkesan tidak tegas menegakkan aturan transportasi online ini. Padahal, perselisihan antarpengemudi sudah sering terjadi. Kondisi yang berlarut-larut ini menyebabkan pendapatan perusahaan taksi konvensional semakin menyusut. Imbasnya, harga sahamnya pun terus merosot karena ketidakpastian masa depan.
Merangkul Pesaing
Persaingan dengan taksi online, terbukti sudah mengerogoti keuntungan emiten taksi, PT Blue Bird Tbk operator taksi biru Blue Bird dan PT Express Transindo Utama (TAXI) operator taksi putih Express.
Laba kedua emiten tergerus dalam hingga September 2016. Express membukukan pendapatan sebanyak Rp 512,57 miliar, turun 28,95% dari tahun lalu. Operator taksi putih itu juga menderita kerugian sebesar Rp 81,8 miliar. Padahal pada periode sama tahun sebelumnya, pendapatan mencapai Rp 721,4 miliar dengan laba bersih sebesar Rp 11,07 miliar. Laba usaha tercatat turun dari Rp 161,637 miliar menjadi Rp 46,293 miliar pada September 2016.
Seperti juga Express, kinerja Blue Bird juga mengalami pelemahan. Hingga September 2016 lalu, laba bersihnya merosot 42,32%, dari Rp 629 miliar menjadi Rp 362 miliar. Beban usaha meningkat dari Rp 350 miliar menjadi Rp 435 miliar. Pendapatan bersih terkikis 10,66% dari Rp 4,03 triliun menjadi Rp 3,6 triliun. Laporan kinerja ini pun memengaruhi pergerakan kedua saham emiten tersebut.
Mau tidak mau, perubahan ini harus disikapi. Seperti kata Sunzi, filsuf dan ahli perang Cina salah satu caranya adalah dengan strategi memahami dan mendekati musuh. Langkah ini pula yang jalani oleh Blue Bird dan Express. Menurut analis Bahana Sekuritas Gregorius Gary, kolaborasi antara kedua operator taksi dengan taksi online akan membuat permintaan taksi konvensional akan kembali bertambah.
Berdasarkan uji coba yang telah dilakukan Bahana Sekuritas, kerja sama antara Go-car dengan taksi Blue Bird lebih rasional dibandingkan kolaborasi antara Uber dengan taksi Express. Ini dengan melihat tarif promonya. Dalam kondisi normal, Uber memberlakukan tarif Rp 4.032/km, tetapi mereka memberi diskon 70%. Sedangkan Grab memberikan tarif Rp 3.441/km, dengan harga promo mendapat potongan 30%.
Berdasarkan hitungan yg dilakukan Bahana kerja sama antara Go-car dengan Blue Bird, gojek memberikan subsidi antara 20% - 50% dari tarif normalnya Rp 4.459/km, jadi sebenarnya subsidi yang diberikan Gojek lebih rendah dari subsidi yang diberikan oleh Uber yang menawarkan potongan antara 25% - 70%, dan Grab memberikan potongan sekitar 25% - 75%.
Perhitungan tim riset Tirto juga menemukan adanya perbedaan tarif antara tarif konvensional dengan tarif sesuai transportasi online. Misalnya asumsi perjalanan dari Kemang village menuju Grand Indonesia yang berjarak 10,6 KM, maka GoCar akan mensubsidi Blue Bird sebesar Rp 7.592 atau sekitar 21,08% dari tarif Gocar. Tarif GoCar sendiri untuk rute perjalanan yang sama sebesar Rp 36.000. (Lihat Infografik)
Sedangkan, untuk kerja sama antara Uber dengan Express, taksi Express akan menanggung kerugian sebesar 12,8% dari tarif mereka. Persentase ini didapatkan dari hasil perhitungan rute Kemang Village menuju Grand Indonesia yang berjarak 10,6 KM, di mana tarif uber sebesar Rp 43.500 dan tarif Express sekitar Rp 49.900. Lain halnya dengan GoCar dan Bluebird, dalam kerja samanya, uber tidak memberikan subsidi atas kekurangan tarif kepada Express sehingga kekurangan tarif penumpang menjadi beban taksi Express.
Sekilas, tampak Gojek merugi karena memberikan subsidi kepada Blue Bird karena tarif yang dibayarkan oleh konsumen adalah tarif yang ada pada aplikasi Gojek, lebih murah ketimbang tarif taksi Blue Bird. “Tetapi ternyata angkanya tidak sebesar yang kami perkirakan sebelumnya,” kata Gregorius lagi. ''Dengan skema kolaborasi ini, pihak Blue Bird tentunya diuntungkan karena jumlah penumpang diperkirakan akan naik, plus mereka masih bisa mendapat tarif normal, sedangkan pihak Gojek juga diuntungkan karena armada GoCar menjadi bertambah.
Proyeksi Saham
Aliansi yang menguntungkan itu terbukti mampu meningkatkan kepercayaan investor, yang imbasnya pada kenaikan harga saham. Pada Selasa (28/2), saham Blue Bird tercatat sebagai salah satu saham yang masuk ke peringkat 8 pada daftar saham yang ditransaksikan berdasarkan kenaikan secara persentase di bursa. Harganya ditutup naik 14% pada penutupan perdagangan hari itu, menjadi Rp 3.990.
Menurut riset dari Trimegah Sekuritas indonesia, saham si Burung Biru itu diuntungkan dengan peningkatan popularitas pemesanan kendaraan secara online karena kerja sama dengan Gojek. Kerja sama ini menurut Trimegah, akan berdampak positif baik pada utilisasi kendaraan yang dimiliki Blue Bird juga menuntaskan konflik antarkaryawan pada kedua belah pihak.
Faktor lain, para analis Trimegah melihat bahwa ada perbaikan kinerja Blue Bird. Anggota manajemen baru pun diharapkan dapat membawa pengaruh besar terhadap strategi jangka panjang operator taksi tersebut. Trimegah pun menargetkan harga saham Blue Bird pada level Rp 5.350 atau berpotensi menguat 53 persen dari posisi akhir Februari lalu. Trimegah merekomendasikan beli pada saham Blue Bird.
Kerja sama dengan Gojek, akan membuat kinerja Blue Bird kembali membaik. Bahana memperkirakanvpendapatan Blue Bird akan naik ke kisaran Rp5,3 triliun pada akhir 2017 dari Rp4,85 trilun yang diperkirakan akan diraup hingga akhir 2016. Hingga (8/3), laporan keuangan Blue Bird untuk tahun 2016 belum dipublikasikan. Pada akhir 2015, Blue Bird berhasil meraup pendapatan sebesar Rp 5,47 triliun. Laba bersih diperkirakan akan naik menjadi Rp 565 miliar pada akhir 2017, dari perkiraan semula yang sebesar Rp 494 miliar pada akhir tahun lalu. Kembali ke tahun 2015, Blue Bird sempat mengantongi laba sebesar Rp 824 miliar. Berdasarkan perkiraan ini, Bahanan merevisi rekomendasinya atas saham berkode BIRD ini menjadi buy dengan target harga Rp 4.750 dari kisaran saat ini yang sebesar Rp 4.000-an.
Bagaimana dengan pesaingnya Express ? Rupanya emiten ini belum dapat bernafas lega walaupun mereka sudah menjalin kerjasama dengan operator taksi online Uber. Ini dikarenakan tarif yang dibayarkan oleh penumpang yang memesan lewat aplikasi Uber, adalah harga yang berlaku di Uber. Tidak ada subsidi yang dibayarkan Uber kepada Express. Kerja sama ini lebih menguntungkan Uber ketimbang Express.
Selain itu, masih banyak permasalahan internal yang belum diselesaikan. Setoran harian yang diterapkan kepada para pengemudi diturunkan menjadi Rp 150.000 dari Rp 240.000 akibat persaingan sengit dengan taksi online. Sayangnya, meskipun setoran harian sudah diturunkan, beberapa pengemudi masih saja tidak mampu menutupi setoran itu karena tidak ada penumpang dan akhirnya memilih keluar dari Express.
Manajemen Express sudah melakukan perbaikan dengan menutup beberapa pool taksi Express yang kinerjanya kurang baik, mengurangi jumlah karyawan, menjual aset serta akan melakukan restrukturisasi pinjaman.
Bahana memperkirakan kinerja Express masih suram, pendapatan pada akhir tahun ini hanya akan naik sedikit menjadi Rp 688 miliar, dibandingkan dengan pendapatan tahun lalu yang diperkirakan mencapai Rp 644 miliar. Express diperkirakan masih dapat mengantongi pendapatan sebesar Rp 970 miliar. Berbagai upaya yang dilakukan pada tahun ini, sehingga laba bersih diperkirakan akan membaik menjadi Rp 8,8 miliar dari perkiraan rugi pada tahun 2016 yang mungkin akan mencapai Rp 120 miliar. Pada tahun 2015, Express masih dapat mengantongi laba bersih sebesar Rp 32 miliar.
Faktor-faktor tersebut membuat Bahana merekomendasikan para investor mengurangi bobot saham TAXI pada portofolionya. Diperkirakan harga saham akan turun dari kisaran saat ini Rp 156 menjadi Rp 135 per saham.
Pertarungan masih belum usai. Upaya merangkul musuh masih belum benar-benar usai dan memberikan jawaban atas tantangan-tantangan dan distrupsi yang terjadi. Masih banyak penyesuaian dan langkah kerja sama lainnya yang perlu dijalani.
Penulis: Yan Chandra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti